Sejarah Dewa Kwan Kong (Guan Yu)
Guang Gong (Hanzi : 關公,
Hokkian : Kwan Kong) atau sering disebut Guan Di, yang berarti paduka
Guan, adalah seorang panglima perang kenamaan yang hidup pada zaman San Guo/Sam Kok (221 – 269 Masehi). Nama aslinya adalah Guan Yu alias Guan Yun Chan (Kwan In Tiang – Hokkian). Oleh kaisar Han ia diberi gelar Han Shou Ting Hou.
Kwan Kong dipuja karena kejujuran dan kesetiaan. Dia adalah lambang
atau tauladan kesatria sejati yang selalu menempati janji dan setia pada
sumpahnya. Sebab itu Kwan Kong banyak dipuja dikalangan masyarakat,
disamping kelenteng-kelenteng khusus. Gambarnya banyak dipasang dirumah
pribadi, toko, bank, kantor polisi, pengadilan sampai ke markas
organisasi mafia. Para anggota perkumpulan rahasia itu biasanya
melakukan sumpah sejati dihadapan lukisan/patung Kwan Kong.
Disamping dipuja sebagai lambang
kesetiaan dan kejujuran, Kwan Kong juga dipuja sebagai Dewa Pelindung
Perdagangan, Dewa Pelindung Kesusastraan dan Dewa Pelindung rakyat dari
malapetaka peperangan yang mengerikan. Julukan Dewa Perang sebagai
umumnya dikenal dan dialamatkan kepada Kwan Kong, harus diartikan
sebagai Dewa untuk menghindarkan peperangan dan segala akibatnya yang
menyengsarakan rakyat, sesuai dengan watak Kwan Kong yang budiman. Kwan
Kong adalah penduduk asli kabupaten Hedong (sekarang Jiezhou) di
propinsi Shanxi.
Bentuk tubuhnya tinggi besar, berjenggot
panjang dan berwajah merah. Tentang wajahnya yang berwarna merah ini
adalah sebuah cerita tersendiri yang tidak terdapat dalam novel San Guo
(kisah tiga negeri). Suatu hari dalam pengembaraannya, Kwan Kong
berjumpa dengan seorang tua yang sedang menangis sedih. Ternyata anak
perempuan satu-satunya dengan siapa hidupnya bergantung, dirampas oleh
wedana setempat (kepala wilayah administrasi pemerintah, setingkat
dibawah kabupaten) untuk dijadikan gundik. Kwan Kong, yang berwatak
budiman dan tidak suka sewenang-wenang semacam ini, naik darah.
Dibunuhnya wedana yang jahat itu dan sang gadis dikembalikan kepada
orang tuanya.
Tetapi dengan perbuatan ini Kwan Kong
sekarang menjadi buronan. Dalam pelariannya itu Ia sampai dicela
DongGuan di propinsi Shanxi. Ia lalu membasuh mukanya di sebuah sendang
(sungai) kecil yang terdapat di pergunungan itu. Seketika rupanya
berubah menjadi merah, sehingga tidak dapat dikenali lagi. Dengan mudah
Ia menyelip diantara para petugas yang diperintahkan untuk menangkapnya
tanpa diketahui. Riwayat Kwan Kong selanjutnya dan sampai akhir hayatnya
ditulis dengan sangat indah dalam novel San Guo yang terkenal itu.
Dalam babak pertama dalam novel tersebut
diceritakan bagaimana Kwan Kong dalam pengembaraannya berjumpa dengan
Liu Bei dan Zhang Fei disebuah kedai arak. Dalam pembicaraan mereka
ternyata cocok dan sehati, sehingga memutuskan untuk mengangkat saudara.
Upacara pengangkatan saudara ini, dilaksanakan di rumah Zhang Fei dalam
sebuah kebun buah Tao atau kebun persik. Liu Bei menjadi saudara
tertua, Kwan Kong yang kedua dan Zhang Fei yang ketiga. Bersama-sama
mereka bersumpah sehidup semati dan berjuang untuk membela negara.
Peristiwa ini terkenal dengan nama “ Tao-Yuan-Jie-Yi ” (Tho Wan Kiat Gie–Hokkian) atau “Sumpah Persaudaraan Di kebun Persik”,
sangat dikagumi oleh orang dari zaman ke zaman dan dianggap sebagai
lambang persaudaraan sejati. Lukisan tiga bersaudara yang sedang
melaksanakan upacara sumpah angkat saudara ini banyak menjadi objek
lukisan, pahatan, patung keramik yang sangat disukai orang hingga
sekarang ini.
Ada banyak cerita tentang Kwan Kong yang
senantiasa asyik dibicarakan orang Tionghoa, seperti kisah Kwan Kong
berbekal sebilah golok tanpa bala pasukan menghadiri pesta musuh, karena
Negara Shu tidak mau mengembalikan Kota Jinzhou. Negara Dong Wu
menyiasati dengan menggelar pesta untuk mengundangnya, lalu menghabisi
Kwan Kong di dalam pesta. Kwan Kong datang menghadiri pesta itu dengan
sebuah perahu kecil beserta puluhan pengikutnya, ia memandang para
menteri dan jenderal Negeri Dong Wu bagai anak kecil, dengan kharisma
luar biasa ia berhasil kembali ke markas dengan selamat.
Kisah lainnya tentang perawatan luka
dengan menyekrap tulang. Tatkala itu, ia berperang melawan pasukan
Negara Wei, Kwan Kong terluka oleh panah beracun. Tabib Hua Tuo
menyembuhkan luka beracun Kwan Kong dengan cara menyekrap tulang. Hua
Tuo menggunakan pisau untuk menyekrap racun yang sudah merasuk ke
tulang, hingga mengeluarkan bunyi. Kwan Kong bergeming makan dan minum
sambil bermain catur dengan muka senyum, sama sekali tidak tersirat
wajah menahan sakit. Tabib sakti Hua Tuo memuji Kwan Kong dengan
berkata: “Jenderal benar-benar seorang Dewa langit.”
Kekalahan Kwan Kong dimulai dari situasi
yang tak menguntungkan dipihaknya. Cao Cao mulai mengajak Sun Quan
untuk berserikat. Sun Quan yang sejak lama menginginkan kota JingZhou
(yang dikuasai Kwan Kong pada waktu itu) agar kembali kedalam wilayah
kekuasaannya, setuju dan mengerakan pasukan merebut JingZhou. Kwan Kong
akhirnya berhasil dijebak dan ditawan, yang kemudian dihukum mati karena
menolak untuk menyerah. Karena takut akan pembalasan Liu Bei, Sun Quan
mengirimkan kepala Kwan Kong ke tempat Cao Cao. Kwan Kong gugur pada
tahun 219 Masehi dalam usia 60 tahun.
Cao Cao yang sejak lama kagum kepada
Kwan Kong, memakamkan kepalanya setelah disambung dengan tubuh dari kayu
cendana secara kebesaran. Kuburan Kwan Kong terletak di propinsi Henan
kira-kira 7 km sebelah utara kota Louyang. Pemandangan di situ sangat
indah, sedangkan bangunan kuburannya sangat megah seakan-akan sebuah
bukit kecil dari kejauhan. Sekeliling bangunan itu ditanami pohon Bai
(Cypress) yang selalu hijau, melambangkan semangat Kwan Kong yang tidak
pernah padam dan abadi dari jaman ke jaman. Pohon-pohon itu kini sudah
menghutan dan ratusan tahun umurnya, sebab itu tempat tersebut dinamakan
Guan Lin atau Hutan Guang Gong. Batu nisannya adalah hadiah dari kaisar dinasti Qing, dimana makam itu telah dipugar kembali.
Berdekatan dengan Guan Lin, terdapat
sebuat kelenteng peringatan untuk mengenang Kwan Kong, yang dibangun
pada jaman dinasti Ming. Kelenteng itu merupakan hasil seni bangunan dan
seni ukir yang bermutu tinggi, sehingga merupakan objek wisata yang
selalu dikunjungi para wisatawan dari dalam negeri dan luar negeri.
Kelenteng peringatan Kwan Kong yang tersebar diseluruh Tiongkok terdapat
di Jiezhou, propinsi Shanxi. Jiezhou, yang pada jaman San Guo disebut
Hedong, adalah kampung halaman Kwan Kong. Kelenteng itu memiliki
keindahan bangunan dan arsitektur yang sangat mengagumkan dan merupakan
salah satu objek wisata terkemuka di Shanxi.
“读好书,说好话,行好事,做好人” (關公语)
Dú hǎo shū, shuō hǎohuà, xíng hǎoshì, zuò hǎorén – guāngōng yǔ
Artinya kira-kira : “Membaca buku-buku yang bagus, Berbicara hal yang baik, Melakukan perbuatan yang benar, Jadilah orang yang baik” – kata Kwan Kong.
Sebagai dewata, Kwan Kong dipuja umat Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme,
Kaum Taoist memujanya sebagai Dewata pelindung dari malapetaka
peperangan, sedangkan kaum Konfusianisme menghormati sebagai Dewa
Kesusasteraan dan kaum Buddhist memujanya sebagai Hu Fa Qie Lan atau Qie
Lan Pelindung Dharma. Menurut kepercayaan kaum Buddist, setelah Kwan
Kong meninggal arwahnya muncul dihadapan rahib Pu Jing
di kuil Yu Quan Si di gunung Yu Quan Shan, propinsi Hubei. Rahib Pu Jing
pernah menolong Kwan Kong yang akan dicelakai seorang panglima Cao Cao,
dalam perjalanan bergabung dengan Liu Bei. Setelah itu, karena takut
pembalasan Cao Cao, rahib Pu Jing menyingkir ke gunung Yu Quan Shan dan
mendirikan Kuil Yu Quan Si.
Telah lebih dari 1000 tahun sejak itu Kwan Kong dipuja sebagai Boddistsatwa Pelindung Buddha Dharma.
Penghormatan terhadap Kwan Kong sebagai orang ksatria yang teguh
terhadap sumpahnya, tidak goyah akan harta kekuasaan dan kedudukan dan
setia terhadap saudara-saudara angkatnya, menyebabkan ia memperoleh
penghormatan yang tinggi oleh kaisar-kaisar pada jaman berikutnya. Kwan
Kong memperoleh gelar yang tidak tangung-tanggung Ia dsebut ” Di ” yang
berarti ”Maha Dewa” atau ”Maha Raja“. Sejak itu Ia disebut Guan Di atau
Guan Di Ye (Koan Te Ya) yang berarti Paduka Maha Raja Guan, sebutan Kedewaan yang sejajar dengan Xuan Tian Shang Di.
Kwan Kong ditampilkan dengan berpakaian
perang lengkap, kadang-kadang membaca buku dengan putra angkatnya Guan
Ping (Koan Ping-Hokkian) yang memegang cap kebesaran dan Zhou Chang
pengawalnya yang setia, bertampang hitam brewokan, memegang golok Naga
Hijau Mengejar Rembulan, senjata andalan tuannya. Guan Ping memperoleh
gelar Ling Hou Thi Zi (Leng Houw Thay Cu-Hokkian), hari kelahirannya
diperingati tanggal 13 bulan 5 imlek, sedangkan Zhou Chang (Ciu
Jong-Hokkian) atau Jendral Zhou, diperingati hari kelahirannya pada
tanggal 20 bulan 10 imlek. Dalam pemujaan dikalangan Buddhis, Kwan Kong
dipuja sendirian tanpa penggiring. Sering juga ditampilkan sebagai Qie
Lan Pu Sa (Ka Lam Po Sat-Hokkian) atau Boddhisatwa Pelindung,
bersama-sama Wei Tuo.
Di Hong Kong, Taiwan dan daratan
Tiongkok memperingati kelahiranNya pada tanggal 24 bulan 6 imlek dan
tanggal 13 bulan 1 imlek sebagai hari kenaikanNya. Seiring dengan
mengalirnya para imigran Tionghoa keluar Tiongkok, pemujaan Kwan Kong
tersebar ke negara-negara yang menjadi tempat tinggal para perantau itu.
Di Malaysia, Singapura dan Indonesia banyak sekali kelenteng yang
memuja Kwan Kong. Di Indonesia kelenteng yang khusus memuja Kwan Kong,
dan terbesar dengan wilayah seluas kira-kira 4 Ha adalah kelenteng Guan
Sheng Miao (Kwan Sin Bio) di Tuban, Jawa Timur. Ditempat Pemujaan Kwan
Kong biasanya ikut dipuja juga seorang tukang kuda yang dipanggil Ma She
Ye atau Tuan Ma. Ia bertugas merawat kuda tunggangan Kwan Kong yang
disebut Chi-Tu-Ma (Cek Thou Ma-Hokkian) atau Kelinci Merah, yang dalam
sehari bisa menempuh jarak 500 Km tanpa merasa lelah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda