Jumat, 24 Oktober 2014

Amithaba

Amitābha (bahasa Sanskerta: अमिताभ, Amitābha, pengucapan bahasa Hindi: [əmɪtaːbʱə]; Amitābho; bahasa Mandarin: 阿彌陀佛, Ēmítuó Fó; bahasa Jepang: 阿弥陀如来, Amida Nyorai; bahasa Tibet: འོད་དཔག་མེད།, Ö-pa-me; bahasa Mongol: Одбагмэд Odbagmed, Аминдаваа Amindavaa, Аюуш Ayush) adalah seorang Buddha surgawi yang dijelaskan dalam kitab suci Tipiṭaka aliran Buddha Mahāyāna. Amitābha adalah buddha utama di sekte Tanah Murni yang berkembang terutama di Asia Timur. Menurut kitab ini, Amitābha menjadi Buddha dikarenakan dari perbuatan baik atas kehidupan masa lalu yang tak terhitung jumlahnya sebagai Bodhisattva bernama Dharmakāra. "Amitābha" dapat diterjemahkan sebagai "Cahaya tidak terbatas", karena itu Amitabha sering disebut sebagai "Buddha dengan Cahaya tidak terbatas".

Doktrin

Menurut Sutra Kehidupan Tanpa Batas atau Sutra Agung Kehidupan Tak Terhingga (Mahāyāna Amitāyus Sūtra), Amitābha dulunya, pada masa yang sangat lampau dan kemungkinan pada solar sistem yang lain, seorang bhikku bernama Dharmakāra. Pada beberapa versi dari sūtra, Dharmakāra digambarkan sebagai mantan raja yang, setelah mendengar ajaran dari Buddha Lokesvararaja, meninggalkan tahtanya. Ia kemudian berketetapan hati untuk menjadi seorang Buddha dan memiliki sebuah buddhakṣetra ("tanah suci Buddha", suatu alam yang terdapat di alam semesta primordial di luar [[Ruang dan Waktu biasa, dihasilkan dari kumpulan pahala yang dikumpulkan sang Buddha) dimana segala isinya sempurna. Ketetapan hati tersebut tertuang dalam 48 Sumpah Amitabha, menggambarkan jenis tanah suci Buddha seperti apa yang diaspirasikan oleh Dharmakāra, persyaratan seperti apa agar dapat terlahir di sana, dan wujud setiap makhluk yang terlahir di sana.


Pada versi sūtra yang dikenal luas di China, Vietnam, Korea, dan Jepang, Sumpah ke-18 Dharmakāra adalah bahwa setiap makhluk di alam semsta manapun yang ingin terlahir di Tanah Suci Amitābha dan menyebut namanya bahkan hanya sebanyak 10 kali akan dipastikan untuk terlahir kembali di sana. Sumpah ke-19 menjanjikan bahwa, bersama dengan para Bodhisatwa dan makhluk suci lainnya, akan muncul di hadapan mereka yang menyebut namanya pada saat menjelang kematian. Keterbukaan dan penerimaan terhadap semua manusia tanpa terkecuali membuat Aliran Tanah Suci memiliki pengaruh besar terhadap Mahāyāna Buddhisme. Aliran Tanah Suci awalnya menjadi populer di barat laut India/Pakistan dan Afganistan, selanjutnya menyebar sampai ke Asia Tengah and China.
Sūtra tersebut juga menjelaskan bahwa Amitābha, setelah mengumpulkan kebajikan yang sangat besar selama sejumlah kehidupan yang tak terhingga, akhirnya mencapai Kebuddhaan dan hingga sekarang masih berdiam di tanah sucinya yaitu Sukhāvatī, yang digambarkan memiliki banyak kebaikan dan kegembiraan.
Doktrin dasar mengenai Amitābha dan sumpah-sumpahnya ditemukan pada tiga kanonikal teks Mahāyāna:
  • Sutra Kehidupan Tanpa Batas/Sutra Panjang Sukhāvatīvyūha
  • Sutra Amitabha/Sutra Pendek Sukhāvatīvyūha
  • Sutra Perenungan/Sutra Amitāyurdhyāna
Melalui usahanya, Amitābha menciptakan "Tanah Suci" (净土, pinyin: jìngtŭ; Jepang: jōdo; Vietnam: tịnh độ) yang disebut Sukhāvatī (Sanskerta|Sanskrit) atau "Tanah Kebahagiaan"). Sukhāvatī berlokasi jauh di barat di luar tata surya kita. Dengan kekuatan sumpahnya, Amitābha membuatnya memungkinkan bagi siapapun yang menyebut namanya untuk terlahir kembali pada alamnya, memperoleh bimbingan dharma dari dirinya demi mencapai kebodhisatwaan dan pada akhirnya kebuddhaan (tujuan akhir Mahāyāna Buddhisme). Dari sana, para Bodhisatwa dan Buddha tersebut akan kembali ke bumi untuk menolong lebih banyak makhluk.

Amitābha adalah Buddha cinta kasih tanpa batas. Beliau tinggal di barat (digambarkan dalam posisi meditasi) dan berupaya untuk mencerahkan setiap makhluk (digambarkan dalam posisi memberi berkah). Teknik paling penting yang beliau ajarkan adalah memvisualisasikan seluruh alam di sekitar sebagai tanah suci. Siapapun yang melihat dunianya sebagai tanah suci akan membangkitkan energi pencerahannya. Dunia dapat terlihat sebagai tanah suci dengan jalan menyatukan pikiran-pikiran positif (pikiran pencerahan) atau dengan mengirimkan cinta kasih kepada semua makhluk (berharap semua makhluk berbahagia). Menurut doktrin Amitabha, seseorang dapat datang ke tanah suci Amitābha jika pada saat menjelang kematiannya, mereka memvisualisasikan Amitābha bercahaya terang seperti matahari tepat di atas kepala mereka, mengulang-ulang nama beliau sebagai mantra dan melepaskan jiwa (kesadaran) melalui cakra mahkota.

Wajrayāna Buddhisme

Amitābha juga dikenal di Tibet, Mongolia, dan wilayah lain yang mempraktikkan aliran Buddhisme Tibet. Pada kelas yoga tantra tertinggi Wajrayana Tibet, Amitābha disebutkan sebagai salah satu dari Lima Dhyāni Buddha (bersama dengan Akṣobhya, Amoghasiddhi, Ratnasambhava, dan Vairocana). Beliau diasosiasikan dengan arah barat dan skandha dari saṃjñā, kebijaksanaan membedakan dan kesadaran mendalam masing-masing individu. Pasangan beliau adalah Pāṇḍaravāsinī.[1][2][3][4][5] Alamnya disebut Sukhāvatī (Sanskrit) atau Dewachen (Tibetan). Dua muridnya yang utama (sebagaimana Buddha Sakyamuni yang juga memiliki dua murid utama) adalah Bodhisatwa Vajrapani dan Avalokiteshvara, Vajrapani di sisi kiri dan Avalokiteshvara di sisi kanan. Pada Buddhisme Tibet, terdapat sejumlah doa terkenal agar terlahir kembali di Sukhāvatī (Dewachen). Salah satunya adalah yang ditulis oleh 'Je Tsongkhapa atas permintaan on the request of Manjushri.
Panchen Lama dari Tibet[6] dan Shamarpa[7][8] dipercaya sebagai emanasi Amitābha.
Beliau sering dipanggil di Tibet sebagai Buddha Amitābha –terutama dalam praktik meditasi Phowa- atau sebagai Amitāyus –terutama pada praktik yang berhubungan dengan umur panjang dan mencegah kematian sebelum waktunya.
Pada Vajrayāna jepang atau Shingon, Amitābha dipandang sebagai salah satu dari 13 Buddha yang dihormati. Shingon, sebagaimana Buddhisme Tibet, juga menggunakan berbagai mantra devosi khusus kepada Amitābha, meskipun masing-masing mantra digunakan untuk manfaat berbeda. Amitābha juga merupakan salah satu Buddha yang muncul di Mandala Garbhadhatu untuk ritual Shingon, duduk di sisi barat dimana Tanah Suci Amitābha berada.

Mantra

Amitābha merupakan pusat dari sejumlah mantra dalam praktik Wajrayana Buddhisme. Bentuk Sanskrit dari mantra Amitābha adalah ॐ अमिताभ ह्रीः (Dewanagari: oṃ amitābha hrīḥ), yang dieja pada versi Tibetnya sebagai Om Ami Dewa Hri (Sanskrit: oṃ amideva hrīḥ). Dalam bahasa Jepang, Shingon Buddhisme, mantra Amitabha adalah On Amirita Teizei Kara Un yang menampilkan bentuk Indic oṃ amṛta-teje hara hūṃ.
Selain mantra-mantra di atas, banyak sekolah Buddhis menyebut Amitābha dengan nama Nian Fo (念佛) dalam bahasa China dan Nembutsu dalam bahasa Jepang.

Nama dalam Berbagai Bahasa


Patung Buddha Amitābha (Mongolia, Abad ke-18 Masehi)
Akar kata dari nama Amitābha dalam Bahasa Sanskerta adalah Amitābha, maskulin, dan bentuk nominatif singularnya adalah Amitābhaḥ. Ini merupakan penyusun kata Sanskrit amita ("tanpa batas, tak terhingga") dan ābhā ("cahaya, kemilau"). Dengan demikian, nama tersebut dapat diinterpretasikan sebagai "ia yang memiliki cahaya tanpa batas, ia yang kemilaunya tak terhingga".
Nama Amitāyus (bentuk nominatif Amitāyuḥ) juga digunakan untuk wujud Sambhogakāya Amitabha, terutama yang berkaitan dengan umur panjang.[9] Beliau seringkali digambarkan dalam posisi bersila dan membawa mangkuk berisi nektar keabadian. Amitayus juga merupakan salah satu dari tiga makhluk suci yang berkaitan dengan panjang umur, selain Tara Putih dan Ushnishavijaya. Amitāyus merupakan gabungan dari amita ("tak terhingga") dan āyus ("hidup"), sehingga memiliki arti "Ia yang usianya tanpa batas".
Buddha Amitabha dalam bahasa China diterjemahkan menjadi Āmítuó Fó (阿彌陀佛), dimana Āmítuó menampilkan tiga aksara Amitābha atau Amitāyus, dan Fó adalah bahasa China untuk Buddha (diambil dari suku kata pertama Buddha dalam bahasa Sanskerta). Nama Amitābha disebut sebagai Wúliàngguāng (無量光; "Cahaya Tanpa Batas"), sementara nama Amitāyus sebagai Wúliàngshòu (無量壽; "Usia Tanpa Batas"). Kedua nama yang terakhir itu jarang digunakan.
Bahasa Vietnam, bahasa Korea, and bahasa Jepang juga menggunakan huruf mandarin untuk Amitabha, meskipun dilafalkan sedikit berbeda:
  • Vietnam : A-di-đà Phật
  • Korea  : Amit'a Bul
  • Jepang  : Amida Butsu.
Beliau juga disebut Amida Nyorai (阿弥陀如来) dalam bahasa Jepang, memiliki arti "Amitābha Sang Tathāgata". Dalam bahasa Tibet, Amitābha disebut 'od.dpag.med dan Amitāyus sebagai tshe.dpag.med.

Ikonografi


Altar milik sebuah kuil di Taiwan menampilkan Buddha Amitābha ditengah, diapit oleh Mahāsthāmaprāpta di kiri Buddha dan Guānyīn di kanan
Semua Buddha digambarkan memiliki wujud yang sama sehingga orang awam mungkin tidak dapat membedakan mereka. Masing-masing Buddha bisa dibedakan dari sikap mudranya: Amitābha sering digambarkan, saat bersila, menampilkan mudrā meditasi(kedua ujung ibu jari saling bersentuhan dan jari-jari yang lain saling menumpang) atau mudrā pemberkatan. Mudrā menyentuh bumi(tangan kanan menunjuk ke bumi) hanya digunakan untuk Buddha Sakyamuni saja. Beliau juga ditampilkan membawa setangkai lotus sambil menampilkan mudra meditasi.
Juga ada perbedaan antara penggambaran Amitayus dan Amitabha, meskipun keduanya merupakan satu pribadi. Sutra yang menuliskan penjelasan Buddha Shakyamuni tentang kemegahan tanah suci Sukhavati menyebutkan bahwa Buddha yang memimpin terkadang disebut Amitabha dan terkadang Amitayus. Saat ditampilkan sebagai Amitayus, ia digambarkan berpakaian indah serta dihiasi berbagai permata, sementara sebagai Amitabha ditampilkan memakai pakaian sederhana bhiksu. Foto patung berwarna keemasan pada artikel ini merupakan penggambaran Amitayus yang mengenakan mahkota berujung lima, yang merupakan cara termudah untuk membedakannya dengan penggambaran Amitabha. Amitayus adalah emanasi Amitabha. Amitabha merupakan kepala dari keluarga Lotus, sementara Amitayus bukan.[10]
Saat berdiri, Amitābha selalu digambarkan dengan tangan kiri mengarah ke bawah dengan ibu jari menyentuh sisi dalam keempat jari, tangan kanan di depan tubuh dengan posisi jari yang sama. Maksud dari mudra ini adalah kebijaksanaan (disimbolkan dengan tangan yang terangkat) dapat diakses bahkan oleh makhluk berderajat paling rendah, sementara tangan yang mengarah ke bawah menunjukkan bahwa cinta kasih Amitabha diarahkan pada makhluk-makhluk rendah yang tidak dapat menolong diri mereka sendiri.
Jika tidak ditampilkan sendiri, Amitābha selalu digambarkan dengan dua pendamping: Avalokiteśvara di kanan dan Mahāsthāmaprāpta di kiri.
Dalam Wajrayana, Amitābha merupakan Buddha paling tua di antara para Dhyani Buddha. Warna merah beliau berasal dari bija-aksara hrih. Ia menampilkan elemen kosmis "Sanjana". Tumpangan beliau adalah burung merak. Beliau mengenakan Mudra Samadhi dimana kedua telapaknya mengarah ke atas, yang satu di atas yang lain, ditumpangkan di atas pangkuan. Bunga lotus merupakan lambangnya. Saat ditampilkan dengan stupa, beliau selalu menghadap arah barat. Amitabha dipuja oleh setiap umat yang mengharapkan pembebasan (pencerahan). Terkadang beliau digambarkan memegang sebuah mangkuk persembahan (patra) dalam posisi tubuh yang sama (bersila).
Dalam aliran Mahayana, Avalokiteśvara beremanasi dalam wujud pria atau wanita. Pada Shin Buddhisme, beliau dipanggil "Kannon" dan dalam Buddhisme China dipanggil Guānyīn.[butuh rujukan] Hal tersebut disebabkan sang Bodhisatwa ingin menolong semua makhluk yang tidak mungkin bisa dicapai dengan hanya mengenakan satu wujud, karena setiap makhluk membutuhkan pendekatan yang berbeda untuk mencapai pembebasan sempurna (pencerahan). Wujud tersebut bisa berupa pria, wanita, welas, garang, dan sebagainya.

Penelitian Arkeologis


Pahatan Amitābha dari Dinasti Táng Kuil Gua Hidden Stream Temple, Gua Longmen, China
Penemuan epigrafi paling tua untuk Amitābha adalah bagian bawah dari patung yang ditemukan di Govindnagar, Pakistan, dan sekarang disimpan di Museum Mathura. Patung tersebut diperkirakan berasal pada "tahun ke 28 pemerintahan Huviṣka" (sekitar paruh terakhir abad kedua SM, pada periode Kekaisaran Kuṣāṇa), dan didedikasikan kepada "Buddha Amitābha" oleh sebuah keluarga pedagang.[11]
Sutra paling awal yang menyebutkan Amitābha adalah terjemahan China dari Pratyutpanna Sūtra oleh biarawan Lokakṣema dari Kuṣāṇa sekitar tahun 180 M. Terjemahan ini dikatakan merupakan asal mula praktik aliran Tanah Suci di China.
Berdasarkan bentuk literatur dan pahatan patung yang tersisa dari akhir abad kedua, diduga bahwa doktrin Amitābha kemungkinan berkembang selama abad pertama dan kedua Masehi. Juga terdapat patung-patung Amitabha yang menampilkan Dhyani Mudra serta patung perunggu Amitabha dalam posisi Mudra Abhaya dari masa Kerajaan Gandhara dari abad pertama Masehi yang menunjukkan popularitas Amitabha pada saat itu. Salah satu dari patung doa Amitabha yang terakhir dapat ditemukan sebagai batu hitam khas dari Kemaharajaan Pala, yaitu kerajaan Buddhis terakhir di India yang kehilangan pengaruhnya pada abad XII Masehi setelah masuknya Islam.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda