Senin, 27 Oktober 2014

Bodhisattva Maitreya Mile Pusa (彌勒菩薩)



Dalam agama Buddha, Bodhisattva Maitreya adalah Buddha yang akan datang. Dalam bahasa Tionghoa, Maitreya terkenal sebagai Mile Pusa (彌勒菩薩).

Dalam agama Buddha diajarkan bahwa buddha merupakan sebuah gelar, sehingga Buddha bukanlah menunjuk kepada Buddha Sakyamuni saja. Buddha yang akan datang setelah Buddha Sakyamuni adalah Buddha Maitreya yang sekarang ini masih bergelar sebagai bodhisattva (calon Buddha).

Maitreya bertempat tinggal di surga Tusita, yang merupakan tempat tinggal bagi para bodhisatva sebelum mencapai tingkat ke-buddha-an. Buddha Sakyamuni juga bertempat tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddharta Gautama di dunia.

Profil Buddha Maitreya
Wajah :

Wajah yang begitu bersahabat (friendly) bukan dengan profil yang wibawa dan agung, mudah untuk didekati, mudah membaur, sangat ramah, sikap luwes, bagai orang tua yang welas asih, membuat umat manusia merasa nyaman dan sejuk dalam hati, setiap orang senang mendekati dan mempelajari pribadi kebudhaannya.

Senantiasa menampilkan kesederhanaan, mendidik manusia bahwa kebenaran tertinggi bukan dalam literatur, studi akademis, pengkajian pengetahuan, melainkan dalam pengamalan sehari-hari Mengekpresikan pribadi kesederhanaan dan kesamaan, bahwa manusia dan buddha bukanlah dua, tiada suci dan tiada awam, asalkan kita mau berjuang niscaya dapat mengembalikan watak suci semula (roman buddha)
Menunjukkan pribadi yang lugu polos, membuat keyakinan dan harapan dalam diri manusia untuk mencapai kebuddhaan Menyampaikan kepada manusia bahwa pelaksanaan misi universal bukanlah kemampuannya pribadi melainkan kebesaran Kuasa Tuhan, Tuhan lah yang mengatur segala-galanya.

Wajah lugu dan polos membuat orang merendah diri, tidak sok pamer.

Wajah cinta kasih membuat orang mempelajari hati cinta kasih.

Dada yang terbuka dan lebar
Legah leluasa, berjiwa besar, hati maha metta, lugu polos, pandangan jauh, menghadapi semua kejadian tak menaruhnya di dalam hati.Menunjukkan hati yang lurus, jujur, apa adanya, tidak menutup-nutupi, tidak dibuat-buat, tak ada yang tak boleh diketahui orang, sungguh bagai keluguan anak kecil.
Dada lapang dan lebar, membuat orang optimis, penuh semangat.

Kantung chien khun
Menutup dan membungkus semua kegelapan, kejahatan, kekacauan, penderitaan, sebagai gantinya mendatangkan terang, kebaikan, kedamaian, kebahagiaan bagi manusia.

Tasbih yang dipegang
Senantiasa mengikat jodoh baik kepada semua mahkluk, membawakan kebahagiaan kepada semua mahkluk.

Senyuman
Berbelas kasihan dan menyadarkan manusia dari buaian mimpi penderitaan
Senyuman wajar, penuh keakraban, kelucuan, mendatangkan kebahagiaan universal, senyuman yang mendatangkan kebahagiaan kepada umat manusia.

Wajah penuh senyuman : membuat orang lupa akan kegelisahan, tiada kekwatiran, penuh kebahagiaan.

Bidang perut yang besar
Membuat orang mempelajari sikap penuh toleransi, pemaafan tidak terikat dan kaku.

Figure yang tepat untuk manusia akhir zaman dalam pembinaan diri. Sebuah figure yang mendatangkan manfaat banyak kepada manusia.

 

Maitreya dalam literatur

Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa-dunia ini (masa-dunia atau kalpa; satu kalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000 tahun). Buddha-Buddha sebelumnya adalah Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa, Buddha yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya). Dalam Cakkavatti-Sihanada Sutta, Sutta ke-26 dari Digha Nikaya dikatakan bahwa:
"Pada saat itu kota yang sekarang merupakan Varanasi akan menjadi sebuah ibu kota yang bernama Ketumati, kuat dan makmur, dipadati oleh rakyat dan berkecukupan. Di Jambudvipa akan terdapat 84.000 kota yang dipimpin oleh Ketumati sebagai ibu kota. Dan pada saat itu orang akan memiliki usia kehidupan sepanjang 84.000 tahun, di kota Ketumati akan bangkit seorang raja bernama Sankha, seorang Cakkavati (Raja Dunia), seorang raja yang baik, penakluk keempat penjuru. Dan pada saat orang memiliki harapan hidup hingga 84.000 itulah muncul di dunia seorang Yang Terberkahi, Arahat, Sammasambuddha bernama Metteya"
Di dalam Buddhavacana Maitreya Bodhisattva Sutra disebutkan juga:
"O, Arya Sariputra! Pada saat Buddha baru tersebut dilahirkan di dunia Jambudvipa. Situasi dan kondisi dunia Jambudvipa ini jauh lebih baik daripada sekarang! Air laut agak susut dan daratan bertambah. Diameter permukaan laut dari keempat lautan masing-masing akan menyusut kira-kira 3000 yojana, Bumi Jambudvipa dalam 10.000 yojana persegi, persis kaca dibuat dari permata lazuardi dan permukaan buminya demikian rata dan bersih"

Maitreya di Tiongkok

Pada zaman dinasti Liang (tahun 502 - 550) daratan Tiongkok berada dalam keadaan kacau, perang saudara dan perebutan kekuasaaan. Sehingga para penganut Buddha mengharapkan datangnya Maitreya sebagai penyelamat. Karena itulah lahir sekte Maitreya. Gambar Maitreya sebagai pangeran India yang gagah menjelma sebagai bhiksu gendut yang selalu senyum. Buddha Maitreya dipercayai lahir di provinsi Zhejiang sebagai bhiksu gendut yang disebut Pu Tai He Sang atau Bhiksu Berkantong Kain. Legenda mengatakan bahwa bhiksu ini sering berkelana membawa kantong kain pada permulaan abad ke-10. Dia juga dijuluki Buddha Ketawa, Buddha Mi Le, atau Ju Lai Fo (Buddha yang akan datang). Ia dipercayai sebagai reinkarnasi Maitreya karena saat meninggal beliau menulis syair:
Maitreya, Maitreya yang asli. Manusia selalu mengharapkan kedatangannya. Dia selalu menjelma dalam berbagai bentuk, namun saat dia datang menjelma sebagai manusia, tidak ada yang mengenalnya.
Seribu kalpa kelahiran untuk mengikat jodoh dengan umat manusia agar umat manusia mandiri dan tahu berbuat apa untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari alam sengsara dan di naungi oleh prana jubah emas Budha Maitreya agar tahan di jalan kebenaran.


Kehadiran Buddha Maitreya


Kasih menjadi misi utama Ariya Metteya. Ia telah mengilhami banyak orang menjadi sadar akan makna kehidupan ini. Kasih menjadi pondasi nilai hidup bagi setiap insan. Kehadiran Ariya Metteya untuk kepentingan dan kebaikan umat manusia seluruhnya, perbedaan apapun yang ada bukanlah halangan. Ia sedang menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dalam hati setiap insan. Ia sedang mengajarkan umat manusia agar mengaplikasikan nilai-nilai agama (kasih) dalam bentuk kehidupan konkrit melalui serangkaian aksi yang nyata. Hal inilah yang paling substansial untuk perdamaian dunia, untuk kesejahteraan semua orang, tidak lagi terbelenggu oleh slogan dan simbol formal agama yang kurang berarti; yang tidak menyentuh lapisan nurani.

  Bila kita mempelajari sejarah dan kebudayaan India kuno, dapat diketahui bahwa konsep waktu dalam kehidupan orang India kuno tidaklah begitu esensial. Jadinya, orang-orang India hampir tidak ada visi historis. Setelah abad ke-17, ada sejumlah cendekiawan Inggris dan lainnya mulai merangkum data-data yang kemudian dijadikan sejarah India. Lain pula halnya dengan sejarah China, yang visi historisnya sudah lima ribu tahun. Ketiadaan konsep waktu memungkinkan terjadinya distorsi dalam kitab yang berbeda bahasa dan sistem konversi yang dipergunakan. Tidak heran, ada berbagai versi tentang waktu kedatangan Arya Metteya. Ada yang mencatat 5,67 milyar tahun, 800 juta tahun, 8,8 juta tahun, 5,76 juta tahun dll. Buddhisme diperkenalkan di China sekitar tahun 67 M, sekitar 500 tahun setelah wafatnya Buddha Sakyamuni. Tentu kita harus memahami kitab secara kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang. Tidak bisa telan mentah apa yang tertulis.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa kalau ingin mendalami Buddhologi harus mempelajari bahasa Sanskrit terlebih dahulu. Hal ini sangat tidak tepat! Perlu kita sadari bahwa bahasa Sanskrit modern mulai terbentuk dan disempurnakan setelah abad ke-17. Sedangkan naskah asli yang berbahasa Sanskrit sebelum itu tidak ada jejaknya. Ditambah lagi kerumitan bahasa Sanskrit yang berkembang secara geografis, ada utara, selatan, timur, barat dan tengah India yang masing-masing memiliki sistem bahasa tersendiri. Bahasa Sanskrit yang berkembang sewaktu para ahli kitab China pertama kali mengalih-bahasakan naskah Buddhis jauh berbeda dengan yang sekarang, ditambah lagi dengan faktor fonetis yang selalu berkembang sesuai dengan budaya zaman. Hal ini sangat mempengaruhi hasil terjemahan kitab.

Selain konsep waktu dan histori, konsep numerik dalam kehidupan orang India kuno pun tidak jelas. Hal ini terbukti dalam berbagai kitab buddhis yang banyak menggunakan "delapan puluh empat ribu", yang sesungguhnya ingin menyampaikan makna "banyak sekali". Demikian pula kata "kalpa", kira-kira setara dengan angka astronomis sekarang. Tiada seorang pun yang dapat mengkonversikannya secara eksak.

Sains modern memberitahukan kepada kita bahwa "waktu" bersifat relatif. Dalam Buddhologi pun dikatakan "waktu" hanyalah ilusi pikiran, bukan mutlak. Di saat duka, satu menit satu detik pun terasa seribu tahun lamanya; di saat suka, satu bulan satu tahun terasa sekejap saja. "Suatu saat atau dikala itu" juga merupakan kalimat yang banyak dipergunakan dalam kitab untuk menerangkan waktu.

Sejak gerakan Renaisance abad ke-15 di Itali hingga penerapan teknologi Artificial Intelligence pada abad ke-20 hanya berlangsung dalam beberapa ratus tahun saja, telah mendatangkan kemudahan hidup di satu sisi dan ancaman kehancuran di sisi lain. Apa akan terjadi setelah milyaran tahun. Terlalu... terlalu...fantastis untuk diproyeksikan. Lagipula, adakah maknanya bila Ariya Metteya setelah 5,67 milyar tahun baru hadir di dunia yang gelap tanpa sinar matahari bahkan mungkin tiada kehidupan. Karena usia matahari diperkirakan hanya sisa 5 milyar tahun.'

Kapan Arya Metteya akan (hadir) menampakkan diri secara nyata? Sebuah pertanyaan kolosal. Secara tekstual, ada beberapa versi. Sekarang, Arya Metteya sedang bersiap-siap di Alam Tusita, ia akan hadir ke dunia ini setelah 5.000 tahun parinirvananya Buddha Sakyamuni (tahun 4520 M). Walaupun terdapat banyak penelitian tentang waktu pemunculannya, namun diharapkan terjadi setelah 30.000 tahun kemudian. Dalam sutra lain, tercatat bahwa Arya Metteya akan reinkarnasi setelah 5,67 milyar tahun.

Khotbah seorang Buddha atau Orang Suci, ada yang bersifat manifes (eksoteris), ada yang bersifat laten (esoteris). Contoh, khotbah "Sekuntum Bunga Seuntai Senyum¡¨, konon yang hadir pada pesamuan tersebut jutaan manusia dan deva. Hanya Maha Kasyapa seorang diri yang memahami khotbah tersebut. Secara logis, pada zaman Buddha Sakyamuni belum ada teknologi elektronik, bagaimana suara khotbah dapat dijangkau oleh hadirin yang begitu banyak jumlahnya. Secara religius, itu adalah khotbah esoteris. Ratna-Dharma Tertinggi tidak diperuntukan semua orang.
Pernyataan 5,67 milyar tahun adalah bahasa analog yang sering dipergunakan oleh Sang Buddha dalam khotbahnya. Tidak dapat diukur dengan sistem waktu sekarang. (Dalam matematika kita mengenal angka imajinatif, bilangan yang tidak realis, namun tidak boleh diabaikan).

Dalam Sutra Maharatna-kutta, Bab 88, tertulis: pada lima ratus tahun kelima, Sang Bodhisatva (Maitreya) yang telah ditunjuk oleh Buddha Sakyamuni, akan hadir kembali di dunia untuk melanjutkan misi pembabaran Ratna-Dharma. Sutra Bodhisatva Maitreya naik ke Alam Tusita, Sutra Bodhisatva Maitreya turun ke dunia, Sutra Bodhisatva Maitreya mencapai Kebuddhaan, adalah tiga kitab yang banyak membicarakan Arya Metteya. Ketiga kitab ini dialih-bahasakan dari bahasa Tibet ke bahasa Mandarin pada abad ke-4 M dan ke-5 M. Bukan terjemahan langsung dari teks aslinya, bahasa Sanskrit. Siapa yang mengalih-bahasakan dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Tibet tidak dapat diketahui. Kalau bukan seorang master Dharma yang melakukan pekerjaan ini, berbagai penafsiran yang kurang tepat (distorsi) tentu tak terelakkan. Sekitar 15 abad setelah wafatnya Sang Buddha, pada era yang didominasi oleh Pengetahuan Dharma, zaman itu sangat sedikit master Dharma yang betul-betul memahami Dharma Hati Sang Buddha. Siapa yang mampu mentransfer esensi Dharma secara akurat kepada generasi berikutnya?

Inilah latar belakang perbedaan tentang angka kedatangan Arya Metteya. Orang Suci berkata, "lebih baik tiada sutra, daripada terjerat mati oleh kalimat sutra". Banyak akademisi dan ahli sutra (orang yang kaya pengetahuan tentang dharma, tapi pengalaman nyata hanya secuil) menghabiskan berpuluh-puluh tahun hanya untuk menafsirkan angka-angka dalam sutra. Padahal nilai agama, esensi sebuah Dharma terletak pada fungsinya dalam kehidupan nyata. Bukan dalam pemikiran, bukan dalam teori, bukan dalam kertas.

Di dalam diri setiap insan manusia, telah dibekali potensi ilahi; sumber dari kebijaksanaan dan cinta kasih, identik dengan potensi yang ada dalam diri buddha-bodhisatva. Bila dalam hati saya bersemi cinta kasih (metta), dan menerapkannya dalam kisi kehidupan nyata; terenyuh hati untuk meringankan penderitaan umat manusia, mendatangkan sukacita kepada orang lain, hidup harmonis dengan sesama dan alam, suka toleransi, bersedia memaafkan kesalahan orang, berjiwa altruis. Maka hidup saya akan diwarnai tawa-ria bagai Arya Metteya. Metta adalah hidupku. Karakteristik pribadi Arya Metteya juga termanifestasi dalam diriku. Demikian, seorang Arya Metteya telah hadir (emanasi). Jangan bertanya kapan Arya Metteya datang ke dunia, bertanyalah "kapan Metta mewarnai kehidupanku?" Adakah mulut saya menyakiti makhluk lain?

Disaat insan-insan manusia berprilaku metta, dunia menjadi damai bersih, semua kondisi telah terpenuhi, spontan Buddha Maitreya akan menampakkan diri di panggung dunia bagai matahari terbit menerangi semesta.